Gunung Geulis, 20 April 2018
Beberapa waktu ini ada 2 hal yang cukup punya porsi besar untuk dipikirkan setiap harinya.
1. Meninggalkan Jabodetabek (Entah kapan, yang pasti 5 kota ini bukan lagi tempat impian untuk jadi tempat tinggal jangka panjang)
2. Meninggalkan media sosial (FB, Path, Twitter, IG) 😋
Kenapa?
1. Sebagai Persiapan untuk tempat tinggal jangka panjang, rasanya cukup panjang untuk dijelaskan kenapa dengan Jabodetabek di mata saya? Kenapa tidak mau menjadikan kelima kota itu sebagai tempat tinggal tetap? Mungkin dijelaskan di tulisan selanjutnya. Pernyataan No. 1 tapi tidak harus dijelaskan lebih dulu kan? 😋
2. Dari jaman Friendster, saya bukan termasuk orang yang antusias dengan medsos. Sampai akhirnya terbawa suasana, membuat friendster justru di masa-masa media itu akan berakhir. Jujur kurang menikmati "faedah" dari media itu, selain untuk "stalking". Masuk facebook, twitter lalu path dan terakhir instagram. Awal-nya mungkin menikmatti, tapi kalau boleh jujur, saya sendiri tidak merasakan kepuasan sih, malah lebih banyak jenuhnya. Entah kenapa kadang ada daya tarik untuk membuat kita harus bertahan membaca timeline lalu sesekali masuk ke salah satu account dan mendalami isinya, kemudian mulai sakit kepala dan merasa bersalah pada diri sendiri karena sudah menghabiskan beberapa jam untuk sesuatu yang sampai sekarang masih belum saya temukan maknanya.😛
Akhirnya sampailah di titik mempertanyakan "Apa tujuan dari setiap postingan saya di IG, FB, Path dan lainnya?", Untuk menyimpan foto-foto? Meninggalkan jejak untuk dibaca nanti? Atau untuk dilihat orang lain? Atau malah tanpa tujuan sama sekali? hanya karena latah, melakukan apa yang orang lain pada umumnya lakukan. Dan saya pun mulai sedih (lebay sih, tapi ini jujur), entah kenapa ada perasaan "Betapa murahannya saya, ketika saya harus menunjukan bagaimana rupa ter-update saya yang sebagian besar efek kamera canggih atau editor foto, dan betapa murahannya saya jika saya harus memberitahu kepada banyak orang saya sedang makan apa, mengunjungi tempat apa, dan baru bertemu siapa.", Padahal si pencipta FB-nya saja waktu disidang tidak mau menjawab di depan umum semalam makan di restoran mana, nginep dimana. 🙈
Betapa hal-hal itu bukanlah sesuatu yang harus diberitahukan kepada orang-orang.
Ada yang bilang, "Banyak orang ingin menjadi selebritis, dan media sosial memfasilitasi itu semua. "Lalu kemudian saya merenungkan kembali, "Betulkah saya ingin menjadi selebritis?" Dan jawabannya "Tidak!". Jujur selebritis mungkin pernah jadi impian masa kecil, tapi itu keinginan seorang anak yang belum mengerti banyak hal, seorang anak kecil yang hanya ingin mendapatkan perhatian banyak orang, ingin "pamer", ingin diakui dengan segala keberadaannya.
Ada yang bilang, "Banyak orang ingin menjadi selebritis, dan media sosial memfasilitasi itu semua. "Lalu kemudian saya merenungkan kembali, "Betulkah saya ingin menjadi selebritis?" Dan jawabannya "Tidak!". Jujur selebritis mungkin pernah jadi impian masa kecil, tapi itu keinginan seorang anak yang belum mengerti banyak hal, seorang anak kecil yang hanya ingin mendapatkan perhatian banyak orang, ingin "pamer", ingin diakui dengan segala keberadaannya.
Ada juga yang bilang "Media sosial itu seperti di Casino, kita mengharapkan hadiah, ketika posting sesuatu kita berharap dapat respon, menghitung like atau comment, kemudian mencoba posting lagi dan menunggu hasil respon dari yang lain akan seperti apa". hmmmmmm bisa jadi salah satu gambaran mungkin ya.
Ada juga yang mengibaratkan dan mengajak kita membandingkan bahwa betapa kita tidak suka jika setiap gerak kita diperhatikan orang lain, tapi kita justru mengumumkannya bahkan kepada orang yang tidak terlalu kita kenal. Tapi mungkin bedanya yang kita umumkan lebih well prepared (kali ya) dibanding secara langsung.
Dikenal banyak orang justru menjadi sebuah beban (kata artis-artis sih gitu 😜), dan ternyata tinggal dalam kesunyian bisa memberikan kedamaian. Itulah kenapa akhirnya saya delete account Instagram, menghapus beberapa postingan yang mengandung foto pribadi di FB bahkan akhirnya menghapus akun Facebook. Heyyyy, yang ciptain facebook aja ga pake FB lho (Punya tapi itu dikelola belasan orang untuk bisa mengatur segala isinya dengan baik sementara dia sendiri tidak mengkonsumsinya). Akhirnya jadi membayangkan teori masa kecil, kalo ada abang tukang bakso ga mau makan baksonya, berarti ada hal yang ga beres dengan bakso beliau. Dan betapa sedihnya ini juga terjadi sama facebook. Setelah nonton 2 video ini, saya makin yakin untuk delete semua sosmed dan hidup lebih bahagia. 😊
Video 1
Video 2
Ketika seorang teman bertanya "Sampai kapan?", saya pun menjawab, "Sampai saya menemukan makna yang benar dalam pemakaian media sosial itu", tapi makin kesini info yang didapat malah makin meyakinkan saya untuk tidak lagi menggunakan media sosial. Terlebih ketika sedikit demi sedikit belajar tentang Big Data, saya cukup khawatir dengan efek media sosial buat kita di masa depan, dimana aktivitas online kita menyumbangkan data dan dukungan analisa untuk para Data Scientist yang sangat mungkin disalah gunakan.
Dan kalau banyak orang berpendapat (seperti salah satu video diatas) bahwa media sosial mempengaruhi psikis kita lebih ke arah negatif, maka meninggalkannya membuahkan banyak hal positif, salah satunya lebih damai dan bahagia. Percayalah dan cobalah. 👵


