Topik teman hidup memang sering sekali jadi bahan diskusi tiada akhir. Topik yang selalu misterius, sulit dimengerti namun mudah sekali berubah, selalu ada hal baru yang bisa dipelajari. Entah berubah karena terlalu banyak faktor luar atau ternyata kita hanya belum mengerti benar, sehingga perubahan itu bukanlah sebuah perubahan tapi hanya sebuah proses untuk semakin mengerti. Misterius.
Sekali lagi, tulisan ini tidak punya jaminan buat harus dipercaya dan tidak cukup akurat untuk diaplikasikan. Bukan hanya karena saya belum menikah apalagi mencapai pernikahan tahan uji, tetapi juga karena saya tidak punya banyak pengalaman dalam hal berpacaran, pengalaman dalam hal memahami banyak pria yang nantinya menjadi teman seumur hidup, bagaimana kita boleh yakin atau tinggalkan saja. :p
Hanya ingin berbagi pemikiran. Sebuah prinsip yang setidaknya sekalipun dunia menghakimi kita dengan status pernikahan di usia-usia tertentu, kita boleh tetap bahagia sebagai single (yang berkualitas tentunya) namun tetap berpengharapan penuh untuk memiliki pernikahan dewasa yang "indah". Tentunya bukan karena tak punya masalah, tapi sebuah pernikahan ideal yang tidak menambah beban hidup kita, tapi memiliki partner berbagi beban hidup yang semakin besar seiring bertambahnya usia terlebih ketika kita ingin punya hidup yang berdampak bagi sekitar. Kita perlu partner untuk bekerja sama bukan malah menambah beban hidup sehingga waktu dan energi kita habis hanya untuk menghadapi pasangan kita. :(
Jadi tulisan ini bukan juga tentang kampanye "Single lebih baik", tapi berbagi bahwa pernikahan itu bagi saya adalah anugerah dan juga mujizat, sesuatu yang tidak bisa dibuatkan resepnya, tidak ada formula baku "Jika A maka B". Hanya perlu kuasa Tuhan saja supaya kita tidak salah mengambil keputusan. Hanya kuasa Tuhan saja, sehingga segala macam rintangan dilewati sampai akhirnya dipersatukan di waktu yang indah dengan cara yang tak terduga. Kejutaaaaaaaaan 😆
Dan perlu kuasa Tuhan juga untuk menghadapi segala tantangan dalam membangun dan mempertahankannya.
Ditulisan sebelumnya dibilang juga "Hanya kuasa Tuhan saja lho (bagi saya)" yang akan mempersatukan pernikahan yang benar sesuai dengan tujuan awal Tuhan mempersatukan Adam dan Hawa. Tapi manusia juga punya bagiannya, bagiannya apa? Ya kalau hanya kuasa Tuhan manusia ga perlu usaha apa-apa dong. Ya iyaa siiih, tapi ga jugaaa, sebagai makhluk paling mulia yang dispesialkan memiliki akal budi dan kehendak bebas, kita juga perlu meresponi hal-hal yang terjadi oleh karena kuasa Tuhan, respon yang akhirnya menentukan keputusan yang kita ambil, menikah sebagai panggilan? menikah sebagai gengsi? Atau menikah karena tertipu? Terjebak? Oooops.
BAIKLAH, JADI RESPONNYA APA?
Mungkin saya mau sedikit berbagi pengalaman dulu. Topik pengalaman seringnya lebih menarik sih daripada teori-teori yang (hanya) menambah pengetahuan. Pengalaman yang akhirnya mengantarkan saya pada titik bahagia walaupun belum menikah :p, pengalaman sebagai pembelajaran berharga yang akhirnya membuat saya belajar bagaimana menghargai "pasangan" kita sekalipun belum dipertemukan. (uuuuh, So swiiiit :p)
Berawal dari seorang anak kecil yang takut melanggar aturan orang tua yang melarang berpacaran sampai kuliah, didukung dengan imajinasi seorang anak kecil yang terpengaruh oleh cerita dongeng dan komik serial cantik yang mengajarkan bahwa cinta pertama itu selalu mengesankan sampai akhirnya taat untuk tidak berpacaran dan berharap pacar pertama kelak menjadi suami. Perjalanan seorang anak kecil yang menantikan waktu boleh pacaran dengan menghayal inginnya punya pasangan seperti apa, ga perlu lah yaa disebut ciri-cirinya, demi menghindari konflik tak berarti dengan pasangan nantinya (hmmmm bisa dibilang ini salah satu menghargai pasangan juga, karena siapapun dia bukan untuk dibanding-bandingkan dan bukan untuk dinilai secara fisik :p).
Sampai akhirnya beberapa lama setelah kuliah, penantian belasan tahun itu (entah kenapa) terjawab sesuai dengan impian seorang anak SD. Bertemu dan akhirnya mau berpacaran dengan seseorang yang sama-sama berpikir untuk menikah nantinya, bukan pacaran ala-ala remaja sekedar teman penyemangat. Dengan segala macam tipikal yang persis sesuai dengan impian yang pernah diharapkan sejak masa kanak-kanak membuat sebuah kepuasan dalam diri sampai pernah tercetus dalam hati "akhirnya aku bisa menikah muda, dengan pacar pertama". Pemikiran yang secara tidak langsung membuat saya mengejar satu goal untuk menikah muda dan menikah dengan pacar pertama tanpa memikirkan apakah relasi ini sehat atau tidak. Menganggap pernikahan sebagai impian yang harus dicapai bukan sebagai panggilan. Menganggap bahwa pernikahan impian itu bisa dicapai jika kita menyiapkannya sesuai dengan aturan yang berlaku.
Sampai akhirnya Tuhan memproses, menolong dan mengantarkan saya pada pengertian bahwa Pernikahan itu sebuah anugerah dan mujizat, tidak ada resep atau formula, perlu iman bahwa Tuhan punya kuasa untuk menghalau segala kemustahilan sampai akhirnya mempersatukan pria dan wanita dalam sebuah ikatan suci pernikahan. Semua perencanaan dan persiapan dan ketaatan selama belasan tahun itu tidak menjamin kita bisa menikah dengan pasangan impian di waktu yang tepat. Lagipula apa sih yang bisa dikategorikan sebagai pasangan impian? Dan secepat atau seterlambat apa waktu untuk menikah itu sehingga kita bisa katakan menikah diwaktu yang tepat? ... Teman Hidup [1]

Tidak ada komentar:
Posting Komentar